Pada
18 Syawal 1429 Hijriah akan diperingati 70 tahun wafatnya Hadratusy Syeikh KH
Kasyful Anwar, berdasarkan hitungan tahun Qomariyah yang mengikuti peredaran
bulan.
Selain
kalangan Darussalam dan warga Martapura, sebenarnya tak banyak orang Banjar
yang mengetahui riwayat hidup Hadratusy Syeikh, tak lain dikarenakan kurangnya
media yang memberitakan. Biografi yang mendalam tentang beliau pun tak bisa
kita temukan, karena memang tak pernah ditulis, yang ada hanyalah biografi
singkat berbentuk menakib yang tak banyak mengkaji pemikiran orisinil beliau.
Sangat disayangkan memang. Padahal, beliau termasuk salah seorang diantara
intelektual Banjar yang menorehkan sejarahnya di Mekkah, pusat keilmuan Islam
di masa itu. Selama 17 tahun (1313 H/1895 M s/d 1330 H/1911 M) tinggal di bumi
Ummul Quro tersebut, selain menuntut ilmu kepada ulama terkemuka – diantaranya
Syeikh Umar Hamdan, Syeikh Muhammad Yahya al-Yamani, Syeikh Said al-Yamani dan
Sayyid Ahmad bin Sayyid Abu Bakr Syatho- beliau juga dipercaya memberikan
pengajaran di Masjidil Haram. Prestasi yang sulit diraih dan terbukti hanya
segelintir urang Banjar yang bisa menggapainya.
Memimpin
Darussalam
Lain
halnya bagi kalangan Pondok Pesantren Darussalam, nama KH Kasyful Anwar
sangatlah dikenal di lembaga ini, karena beliaulah yang pertama kali melakukan
perombakan sistem pendidikan di pondok pesantren tertua di Kalimantan tersebut
(berdiri 14 Juli 1914 M). Sistem jenjang kitab (setelah tamat satu kitab
dilanjutkan dengan kitab yang lebih tinggi) yang mulanya dianut diganti dengan
sistem jenjang klasikal, berkiblat kepada sistem pendidikan yang diterapkan
madrasah-madrasah Timur Tengah, diantaranya Madrasah ash-Sholatiah Mekkah,
madrasah tertua di tanah Hijaz (berdiri 1291 H).
Ulama
Banjar yang memiliki hubungan darah dengan Maulana Syeikh Muhammad Arsyad
al-Banjari (Datuk Kalampayan) tersebut memimpin Darussalam selama 18 tahun
(1922-1940). Selama itu, Darussalam merasakan pengorbanan yang tidak
tanggung-tanggung dari Hadratusy Syeikh. Waktu, tenaga, pikiran dan harta
mengalir deras untuk Darussalam. Sehingga eksistensi lembaga pendidikan Islam
yang didirikan oleh aktivis Syarikat Islam KH Jamaluddin (w. 1919 M) tersebut
semakin kokoh dan diperhitungkan.
Sebagaimana
sering diceritakan al-‘Allamah KH Muhammad Zaini Abdul Ghani (Abah Guru
Sekumpul) dalam pengajiannya, Hadratusy Syeikh selain menetapkan gaji untuk
staf pengajar di Darussalam, beliau juga memberikan santunan yang diambil dari
kantong pribadi beliau, sehingga kesejahteraan para asaatidz tercukupi
dengannya. Santunan yang tidak diukur dari tingginya kedudukan atau jabatan,
namun disandarkan pada kondisi ekonomi si penerima.
Kecuali
itu, beliau juga mengupayakan peningkatan kualitas intelektual para pengajar
Darussalam. Untuk itulah sekitar tahun 1936-1937 beberapa alumnus Darussalam
berangkat ke tanah haram, untuk memperdalam kajian Islam di sana. Sehingga
akhirnya Darussalam memiliki ulama ahli Nahwu, Sharaf dan Tasawuf yang diwakili
oleh KH Semman Mulya, ahli Tajwid dan Qiraat yang diwakili KH Nashrun Thahir,
ahli kaligrafi dan hafizh Qur’an yang diwakili KH A. Nawawi Marfu’, ahli Ilmu
Falaz dan Faraidh yang diwakili KH Salman Jalil dan ahli Fiqh yang diwakili KH
Abdurrahman Ismail.
Seorang
Penulis
Menjalani
keseharian sebagai seorang pengajar ditambah memimpin jalannya sistem
pendidikan di Darussalam tidaklah menghalangi produktifitas Hadratusy Syeikh
dalam bidang penulisan. Umumnya karya tulis beliau ditujukan untuk menunjang
keberlangsungan pendidikan di Darussalam. Diantaranya adalah Durus at-Tashrif,
sebuah rÃsalah berbahasa Arab yang mengulas tentang pelajaran ilmu Sharaf
(Gramatika) dan kitab Risalah Tajwidul Qur’an, juga ditulis dengan menggunakan
bahasa Arab yang berisi tentang Ilmu Tajwid (aturan membaca Alqur’an). Selain
itu, beliau yang juga memiliki keahlian di bidang Hadits, memiliki sebuah karya
tulis yang merupakan ulasan (syarh) dari Kitab Arba’in an-Nawawi. Kitab yang
diberi judul at-Tabyiin ar-Rawi Syarh Arba’in an-Nawawi tersebut ditulis dengan
menggunakan huruf Arab berbahasa Melayu. Dalam kitab ini terlihat kedalaman
pengetahuan Hadratusy Syeikh di bidang ilmu Hadits.
Yang
sangat disayangkan menurut penulis, belum adanya upaya menerbitkan buah karya
orisinil Hadratus Syeikh tersebut secara besar, padahal ini sangatlah urgen.
Tanpa mengkaji karya beliau secara langsung tak mungkin kita bisa mengetahui
pemikiran yang orisinil. Kitab at-Tabyiin ar-Rawi misalnya, selama ini yang
beredar hanyalah photocopy dari kitab yang di tashih oleh Muhammad Ismail bin
Ya’qub Kelantan, Muhammad Zaini bin Ahmad Serawak dan Abdullah bin Ali Fathani.
Kenapa tidak ada orang Banjar yang melakukan tashih ulang, memberikan ulasan
dan komentar serta catatan-catatan terhadap kitab ini? Mungkin saja karena
memang karena mereka tidak memiliki atau bahkan tidak mengenal kitab tesebut.
Mujaddid?
Karena
telah memiliki ilmu yang luas dan dalam sehingga dipercaya untuk mengajar di
Masjidil Haram, kemudian pulang ke tanah air, melakukan perombakan sistem
pengajaran dan mengupayakan lahirnya intelektual muslim yang mumpuni di
bidangnya serta melahirkan beberapa karya tulis di berbagai bidang keilmuan.
Lantas, apakah layak seorang Kasyful Anwar menyandang gelar sebagai Mujaddid
(Pembaharu)? Hal ini menarik untuk dikaji karena dalam pengajiannya (Abah Guru)
al-’Allamah KH Muhammad Zaini Abdul Ghani sering mengatakan bahwa KH Kasyful
Anwar termasuk salah seorang mujaddid. Sejauh mana kebenarannya, sebelumnya
terlebih dahulu mari kita bahas definisi dari mujaddid itu sendiri.
Istilah
mujaddid berawal dari ungkapan Rasulullah Saw, “Sesungguhnya Allah
membangkitkan bagi umat ini pada setiap kepala (akhir-awal) seratus tahun,
orang yang akan memperbaharui (mujaddid) agama umat ini”. Teks asli dari hadits
tersebut diriwayatkan Abi Daud dalam Kitab Malahim, Bab Maa Yudzkaru Fii Qarnil
Mi’ah, Al-Hakim dalam al-Mustadrak juz IV halaman 522-523, al-Baihaqy dalam
Ma’rifatussunan wal Atsar juz I halaman 123-124, al-Khatib al-Baghdadi dalam
Tarikh Baghdad Juz II halaman 6162, Ibnu ‘Ady dalam al-Kamil Juz I halaman 114.
Ulama hadits kontemporer Nashiruddin al-Albani menilai shahih hadits tersebut
dan memuatnya dalam Silsilah Ahadits as-Shahihah nomer 599.
Mengenai
maksud dari kandungan hadits, mari kita lihat bagaimana komentar para ulama
yang ahli dibidangnya. Al-Manawi Rahimahullah dalam kitab Faidhul Qadir
(II/281-282) menerangkan, “(Tajdid) berarti menerangkan perbedaan antara sunnah
dan bid’ah dan memperluas penyebaran ilmu serta membela ahlul ilmi/ulama.
Demikian pula mengalahkan ahli bid’ah dan membuat mereka hina. Para ulama
menyatakan bahwa tidak ada yang mampu melakukan upaya yang demikian (tajdid)
kecuali seorang yang berilmu dengan ilmu agama lahir dan bathin.”
Sementara
itu, Ibnu Katsir Rahimahullah dalam an-Nihayah fil Fitan wal Malahim (hal. 18) mengatakan
“Sungguh setiap kaum mengaku bahwa imam merekalah yang dimaksud mujaddid dalam
hadits ini. Padahal yang nyata, Wallahu a’lam, yang dimaksud dalam hadits ini
sebagai mujaddid meliputi seluruh ulama dari berbagai disiplin ilmu agama,
seperti ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqh, ahli nahwu, ahli bahasa Arab dan
berbagai disiplin ilmu agama yang lainnya. Wallahu a’lam”
Menurut
Ibnu Hajar Rahimahullah dalam Fathul Bari (XIII/295), “Tidak mesti yang datang
pada setiap seratus tahun sekali itu hanya satu orang pembaharu saja. Akan
tetapi perkaranya ditinjau dari banyak segi, karena sesungguhnya terkumpulnya
berbagai keadaan yang membutuhkan pembaharuan padanya, tidak terbatas pada satu
macam kebaikan saja dan tidak pula segala kebaikan itu harus terkumpul pada
diri seorang pembaharu saja, kecuali apa yang dinyatakan tentang kedudukan Umar
bin Abdul Aziz, sebagai pembaharu pada penghujung seratus tahun pertama, karena
beliau berkedudukan sebagai kepala pemerintahan kaum muslimin pada waktu itu,
dan semua sifat-sifat kebaikan ada pada diri beliau, yang menunjukkan bahwa
beliau mujaddid pertama. Karena itulah Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa
para salaf telah memaknakan hadits tersebut di atas bagi diri Umar bin Abdul
Aziz (sebagai mujaddid). Adapun orang yang datang sesudah beliau seperti Imam
Syafi’i, walaupun pada diri beliau terdapat sifat-sifat yang baik, tetapi
beliau bukanlah kepala pemerintahan yang dapat memegang komando jihad atau
penerapan hukum dengan adil. Oleh karena itu semua ulama yang memiliki salah
satu sifat mujaddid pada setiap penghujung seratus tahun berarti dialah yang
dimaksud hadits ini, sama saja apakah orangnya banyak atau tidak.”
Pembahasan
yang lebih panjang adalah yang dilakukan oleh Imam al-Mubarak bin Muhammad bin
al-Atsir al-Jazari Rahimahullah (w. 606 H) dalam Jami’ul Ushul fi Ahaditsir
Rasul (XI/320), “Sungguh para ulama telah berbicara tentang penafsiran hadits
ini. Setiap mereka menafsirkannya sesuai zamannya masing-masing. Mereka
mengisyaratkan bahwa yang dimaksud mujaddid di hadits tersebut ialah orang yang
menunaikan pembaharuan di kalangan kaum muslimin terhadap agama mereka pada
setiap penghujung seratus tahun. Seolah-olah setiap orang dari para ulama itu
(dalam pengertian hadits ini) condong kepada ulama madzhabnya. Sehingga menarik
pengertian hadits ini kepadanya. Yang lebih utama dalam perkara ini adalah
menarik pengertian hadits ini pada pengertian yang umum, karena sabda Nabi
Shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang ini tidaklah mesti menunjukkan bahwa yang
dibangkitkan setiap penghujung seratus tahun itu hanya satu orang. Akan tetapi
juga menunjukkan kemungkinan dibangkitkan lebih dari satu orang, karena lafadz
hadits ini tidak mesti menunjukkan pengertian demikian. Dan hadits ini tidak
mesti menunjukkan bahwa mujaddid itu adalah hanya dari kalangan fuqaha (ahli
fiqh) sebagaimana pendapat sebagian ulama. Karena umat ini tidak hanya
mengambil manfa’at dari para fuqaha saja, walaupun kemanfaatan mereka dalam
perkara-perkara (hukum) agama ini lebih merata. Akan tetapi umat ini banyak
mengambil manfaat ilmu dan amal dari selain mereka seperti kepala pemerintahan
Islam, ahli hadits, para qura’ (ahli bacaan al-Qur’an), para ahli nasehat
(khatib), serta tokoh-tokoh ahli zuhud….”. Selanjutnya beliau menjelaskan:
“Bahkan semestinya hadits ini dimaknakan bahwa yang dibangkitkan sebagai
mujaddid pada setiap penghujung seratus tahun itu ialah orang yang populer dan
dikenal serta diperhitungkan keberadaannya pada masing-masing disiplin ilmu
yang tersebut di atas. Maka bila hadits ini ditarik pada pengertian yang
demikian, tentunya lebih utama dan lebih jauh dari sangkaan yang lemah serta
lebih mencocoki hikmah. Karena sesungguhnya perbedaan pendapat para imam itu
adalah rahmat dan penetapan mana yang benar dari pendapat-pendapat para ahli
ijtihad adalah sesuatu yang mesti dilakukan. Maka bila kita khususkan mujaddid
itu pada salah satu madzhab dan kita tafsirkan hadits ini pada pengertian
tersebut niscaya madzhab-madzhab lain yang kita tidak cenderung kepadanya itu
keluar dari pengertian tajdid yang disebut hadits ini. Sehingga dengan demikian
berarti cercaan terhadap berbagai madzhab tersebut. Oleh karena itu, yang lebih
baik dan lebih utama kita maknakan hadits ini bahwa Allah SWT akan
membangkitkan beberapa orang besar yang terkenal di setiap penghujung seratus
tahun yang melakukan tajdid (pembaharuan) terhadap agama kaum muslimin (Islam).
Mereka memelihara madzhab kaum muslimin dalam mengikuti para mujtahid dan imam
mereka.”
Bila
kita cocokkan antara isi hadits “ Sesungguhnya Allah membangkitkan bagi umat
ini pada setiap kepala (akhir-awal) seratus tahun” dengan Hadratus Syeikh KH
Kasyful Anwar yang lahir dipenghujung abad ke 12 dan pada awal abad ke 13
mempersembahkan hidupnya untuk kemajuan agama Islam, melakukan pembaharuan (tajdid)
sistem di Darussalam dan pembaharuan-pembaharuan lainnya di bidang keagamaan
serta kedalaman dan keluasan ilmu agama yang dimilikinya, tentunya memasukkan
beliau dalam daftar mujaddid umat ini seperti yang dilakukan Abah Guru
Sekumpul, sangatlah dibenarkan.
Meski
demikian kesimpulan yang penulis ajukan, tak tertutup pintu bahkan sangat
penulis tunggu adanya penelitian yang lebih mendalam –disertasi misalnya-
tentang sosok dan pemikiran Hadratusy Syeikh KH Kasyful Anwar, sebagai
pembuktian apakah beliau layak disebut sebagai seorang mujaddid (pembaharu).
Kecuali itu, agar ulama Banjar yang mengharumkan banua hingga ke Timur Tengah
ini bisa lebih kita kenali.