Muhammad Nafis Al-Banjari


Dialah pengarang “Durr Al-Nafis”, kitab berbahasa Jawi alias yang dicetak berulang-ulang di Timur Tengah dan Nusantara, yang masih dibaca sampai sekarang. Dia berada dalam urutan kedua setelah Muhammad Arsyad Al-Banjari dari segi pengaruhnya atas kaum muslimin di Kalimantan. Apa yang yang harus dilakukan kaum muslimin agar memperoleh kemajuan dalam hidup? Mengapa Belanda melarang kitabnya beredar di Indonesia?
Kalimantan tidak hanya melahirkan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dengan karyanya “Sabilul Muhtadin” yang masyhur itu. Dari pulau yang dilintasi garis khatulistiwa ini juga mengorbit sebuah bintang yang kini menempati gugusan ulama terkemuka Nusantara. Dialah Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari yang salah satu karyanya, “Durr Al-Nafis”, masih dibaca sampai sekarang.

Setelah Arsyad Al-Banjari, Muhammad Nafis adalah ulama paling berpengaruh di Kalimantan. Muhammad Arsyad lebih masyhur sebagai ulama fiqh lewat karyanya yang monumental tadi, sedangkan Muhammad Nafis lebih terkenal sebagai ahli tasawuf, melalui karyanya yang juga beredar luas di Nusantara.

Muhammad Nafis bin Idris bin Husain Al-Banjari berasal dari kluarga bangsawan. Beliau dilahirkan di Martapura, Kalimantan Selatan, pada tahun 1148 Hijri atau tahun 1735 Masehi. Nafis hidup dalam kurun waktu yang sama dengan Syekh Arsyad, yang lahir pada 1122/1710. Jika Arsyad meninggal tahun 1227/1812, Nafis belum diketahui tahun wafatnya. Yang kita ketahui, peristirahatan terakhir beliau di desa Kelua, sekitar 125 kilometer dari Banjarmasin. Nafis melanjutkan pelajarannya ke Makkah, setelah belajar dasar-dasar keislaman di daerah kelahirannya. Mungkin dia belajar bersama Al-Falimbani dan Muhammad Arsyad dan para pelajar lainnya di Nusantara. Mereka memang punya guru-guru yang sama seperti As-Samani, Muhammad Al-Jauhari, Muhammad Siddiq. Dia juga belajar pada Abdullah bin Hijazi Al-Syarqawi, yang dua tahun lebih muda, Syaikh Al-Azhar, dan juga guru Dawud Al-Fatani. Al-Syarqawi merupakan ulama hadis terkemuka, yang menjadi isnad (sandaran) Muhammad At-Tirmasi, ulama hadis terkemuka kita, yang asal Tremas, Jawa Timur, yang tinggal dan meninggal di Makkah.

Muhammad Nafis mengikuti mazhab Syafi’i dan menganut ajaran kalam Asy’ari. Dia juga bergabung dengan beberapa tarekat seperti Qadiriyah, Syathariyyah, Naqshabadiyah dan Khalwatiyah. Nafis, seperti terungkap dalam “Durr An-Nafis” menekankan transendensi mutlak dan keesaan Tuhan, dan menolak faham determinisme fatalistik Jabariyyah yang berlawanan dengan kehendak bebas (Qadariyyah). Dia berpendapat bahwa kaum muslimin musti berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik dengan cara melakukan amal shalih (perbuatan baik) dan menghindari kejahatan (nahy ‘anil munkar). Penekanannya yang kuat akan aktivisme muslim ini menyebabkan bukunya kena pemberedelan Belanda. Pemerintah kolonial khawatir kitabnya itu akan mendorong kaum muslimin melancarkan jihad.

Tidak diketahui kapan persisnya Muhammad Nafis Al-Banjari balik ke Nusantara. Mungkin dia langsung pulang ke Kalimantan, tidak mampir-mampir dulu di tempat lain, sebagaimana, misalnya, Syekh Arsyad yang sempat ngendon dua bulan di Betawi seraya membetulkan arah qiblah sejumlah masjid di sini. Syekh memang diminta temannya, Abdurrahman Al-Batawi, agar tidak buru-buru pulang kampong. Tapi Syekh menggunakan waktunya yang relatif singkat itu untuk da’wah di kalangan muslim Betawi. Kembali ke tokoh kita. Bebeda dengan Muhammad Arsyad yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencemplungkan dirinya dalam usaha penyebarluasan Islam di wilayah pedalaman Kalimantan. Dia memerankan dirinya sebagai ulama sufi kelana yang khas, keluar-masuk hutan menyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.

Islamisasi di Kalimantan

Sebelum Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, boleh dibilang tidak ada upaya-upaya Islamisasi yang serius di Kalimantan. Tidak ada upaya yang serius yang dilakukan oleh para penguasa untuk memajukan kehidupan Islam. Usaha-usaha yang dilakukan para da’i keliling, juga tidak memperoleh kemajuan yang berarti.

Islam masuk Kalimantan Selatan lebih belakangan ketimbang misalnya, Sumatra Utara dan Aceh. Seperti diungkapkan Azra, diperkirakan pada awal abad ke-16 sudah ada sejumlah muslim di sini, tetapi Islam baru mencapai momentumnya setelah pasukan Kesultanan Demak dating ke banjarmasin untuk membantu Pangeran Samudra dalam perjuangannya melawan kalangan elite di Kerajaan Daha. Setelah kemenangannya, Pangeran samudra beralih memeluk Islam pada sekitar tahun 936/1526, dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar. Dia diberi gelar Sultan Surian Syah atau Surian Allah oleh seorang da’i Arab.

Dengan berdirinya Kesultanan Banjar, otomatis Islam dianggap sebagai agama resmi negara. Namun demikian, kaum muslimin hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya hanya terbatas pada orang-orang Melayu. Islam hanya mampu masuk secara sangat perlahan di kalangan suku Dayak. Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada ajaran Islam boleh dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar pengucapan dua kalimah syahadat. Di bawah para sultan yang turun-temurun hingga masa Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, tidak ada upaya yang serius dari kalangan istana untuk menyebarluaskan Islam secara intensif di kalangan penduduk Kalimantan. Karena itu, tidak berlebih jika Muhammad Nafis dan terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh penting dalam proses Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua orang ini pula yang memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan.

Daya Spiritual dan Kewajiban Syari’at

Nama kitab “Durr Al-Nafis” sesungguhnya amatlah panjang. Lengkapnya, kitab yang ditulis di Makkah pada 1200/1785 ini: “Durr Al-Nafis fi Bayan Wahdat Al-Af’al Al-Asma’ wa Al-Shifat wa Al-Dzat Al-Taqdis”. Kitab ini berkali-kali dicetak di Kairo oleh Dar Al-Thaba’ah (1347/1928) dan oleh Musthafa Al-Halabi (1362/1943), di Makkah oleh Mathba’at Al-Karim Al-Islamiyah (1323/1905), dan di berbagai tempat di Nusantara. Kitab ini menggunakan bahasa Jawi, sehingga dapat dibaca oleh orang-orang yang tidak faham bahasa Arab.

Seperti diungkapkan Doktor Azyumardi Azra, sejarawan dari Universitas Islam Negeri Jakarta, dalam kitabnya itu, Muhammad Nafis dengan sadar berusaha mendamaikan tradisi Al-Ghazali dan tradisi Ibn ‘Arabi. Dalam karyanya ini, di samping menggunakan ajaran-ajaran lisan dari para gurunya, Nafis merujuk pada karya-karya “Futuhat Al-Makkiyah” dan “Fusushl-Hikam” dari Ibn ‘Arabi, “Hikam” (Ibn Atha’illah), “Insan Al-Kamil” (Al-Jilli), “Ihya’ ‘Ulumiddin” dan “Minhaj Al-‘Abidin (Al-Ghazali), “Risalat Al-Qusyairiyyah” (Al-Qusyairi), “Jawahir wa Al-Durar” (Al-Sya’rani), “Mukhtashar Al-Tuhfat al-Mursalah” (‘Abdullah bin Ibrahim Al-Murghani), dan “Manhat Al-Muhaammadiyah” karya Al-Sammani.

Tauhid atau keesaan Tuhan, menurut Muhammad Nafis, terdiri atas empat tahap. Yakni tauhid al-af’al yaitu keesaan perbuatan Tuhan, tauhid al-shifat (keesaan sifat-sifat Tuhan), tauhid al-asma’ (tahid keesaan nama-nama Tuhan), dan tauhid adz-dzat (keesaan esensi Tuhan). Pada tahap tertinggi yaitu tauhid adz-dzat, si pencari kebenaran (salik) akan mengalami fana’, dan selama itu dia akan mencapai musyahadah (penyaksian dan penglihatan) esensi Tuhan. Muhammad Nafis menegaskan, bahwa Dzat Tuhan tidak dapat diketahui melalui indra yang lima dan akal, melainkan hanya dengan kasyf atau intuisi langsung. Untuk mencapai kasyf, Nafis menekankan pentingnya kepatuhan akan syariat baik lahir maupun batin. Kata dia, mustahil seseorang mencapai kasyf tanpa menguatkan daya spiritual dengan cara menjalankan ibadah-ibadah dan kewajiban lain yang ditetapkan syariat.