Selama ini, publikasi
terhadap tulisan sejarah dan kehidupan tokoh-tokoh lokal begitu terbatas.
“Ketokohan Syekh Abdul
Wahab Bugis di Tanah Banjar” memotivasi kita untuk lebih mengenalkan secara
dekat tokoh-tokoh besar yang telah mengharumkan banua dalam perjuangan dan
syiar dakwah serta dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Sehingga dengan
adanya publikasi secara tertulis terhadap sedikit dari biografi dan pemikiran
mereka yang bisa diramu, diharapkan generasi sekarang akan lebih tahu tentang
sejarah hidup, sumbangan pikiran, dan perjuangan yang telah mereka curahkan
untuk kejayaan Islam dan kesejahteraan hidup umat. Sehingga bermuara dari sini
diharapkan tumbuh pula semangat yang sama untuk membangun dan memberikan yang
terbaik bagi perkembangan banua, hari ini, besok, lusa dan masa yang akan
datang.
Syekh Abdul Wahab
bertemu dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Madinah, dalam majelis ilmu
gurunya (yang kemudian juga menjadi guru Syekh Muhammad Arsyad), Syekhul Islam,
Imamul Haramain Alimul Allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi. Jika Syekh
Muhammad Arsyad (dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani) lebih banyak menggunakan
waktu mereka untuk menuntut ilmu di kota Mekkah (selama 30 tahun) dan Madinah
(selama 5 tahun), maka Abdul Wahab (bersama dengan Syekh Abdurrahman Misri)
lebih banyak memanfaatkan waktu mereka untuk menuntut ilmu di Mesir.
Pigur Syekh Abdul
Wahab Bugis
Berdasarkan pendapat dari Karel S. Steenbrink sebenarnya riwayat hidup seorang tokoh dapat dilacak melalui dua sumber utama. Pertama sumber intern, yakni sumber yang berasal dari tokoh itu sendiri, misalnya karya tulis, biografi tentang sejarah hidupnya atau sumber tertulis lainnya. Kedua, sumber ekstern, yakni tulisan-tulisan yang mengetengahkan tentang riwayat hidup dan perjuangan dari seorang tokoh (1985: 91). Dalam konteks ini pendekatan pertama yang bersifat intern tidak bisa diterapkan, karena sampai sekarang tidak pernah ditemukan satupun karya tulis, buku, risalah, atau kitab karangan Syekh Abdul Wahab Bugis yang bisa dibaca dan ditelaah. Sedangkan pendekatan kedua yang bersifat ekstern yang mengetengahkan tentang riwayat hidup dan perjuangannya juga sangat terbatas dan sedikit sekali, bahkan hampir-hampir tidak ada. Sehingga wajar, walaupun Azyumardi Azra memasukkan Syekh Abdul Wahab Bugis sebagai salah seorang tokoh penting dalam konsep jaringan ulamanya, namun pengungkapan data, riwayat hidup, karier, dan perjuangannya sendiri hampir tidak ada (1994: 243).
Sebagaimana
dikatakan, tulisan yang mengetengahkan riwayat hidup tokoh yang satu ini memang
sangat sedikit, bahkan hampir-hampir tidak ada. Namun menilik dari namanya,
Syekh Abdul Wahab Bugis –selanjutnya ditulis Abdul Wahab– orang sudah bisa
menduga bahwa sebenarnya ia bukanlah asli orang Banjar, karena memang ia
berasal dari Bugis, Makasar, Sulawesi Selatan. Tepatnya, menurut Abu Daudi
(1996: 28), Abdul Wahab adalah seorang berdarah bangsawan, ia keturunan seorang
raja yang berasal dari daerah Sadenreng Pangkajene, dan dilahirkan di
sana. Sebagai seorang yang berdarah bangsawan ia diberi gelar Sadenring
Bunga Wariyah. Jadi nama lengkapnya adalah Abdul Wahab Bugis Sadenreng
Bunga Wariyah.
Pangkajene, daerah
tempat kelahiran Abdul Wahab sekarang ini adalah adalah salah satu kecamatan
yang ada di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) Sulawesi Selatan,
ibukotanya adalah Tomapoa. Terletak di sebelah atau bagian barat dari propinsi
Sulawesi Selatan. Di samping di kenal sebagai daerah pertanian yang subur dengan
tanah pegunungan dan dataran rendahnya, daerah ini dikenal pula sebagai daerah
perikanan. Salah satu peninggalan sejarah yang terkenal di daerah ini adalah
Arojong Pangkajene (Depag RI, 1996: 786).
Tidak diketahui
secara pasti kapan ia dilahirkan. Perkiraan penulis ia dilahirkan antara tahun
1725-1735, mengingat usianya yang lebih muda dibandingkan dengan Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari yang dilahirkan pada tahun 1710 M.
Kedatangan Abdul
Wahab ke Tanah Banjar seiring dengan kepulangan Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari setelah menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah selama lebih kurang 35
tahun, yakni pada tahun 1772 M. Pada saat itu yang memerintah di kerajaan
Banjar adalah Pangeran Nata Dilaga bin Sultan Tamjidullah, sebagai wali putera
mendiang Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1761-1787 M), yang kemudian sejak
tahun 1781-1801 secara resmi memerintah sebagai raja Banjar dan bergelar Sultan
Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah.
Abdul Wahab mengikuti
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari setelah dinikahkan dengan Syarifah (Abu Daudi,
1996: 78). Walaupun kemudian diketahui bahwa Syarifah sendiri telah dinikahkan
dengan Usman dan telah mendapatkan satu orang anak, bernama Muhammad As’ad.
Tetapi setelah diteliti oleh Syekh Muhammad Arsyad berdasarkan hitungan Ilmu
Falak maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan Abdul Wahab dengan Syarifah yang
dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad dengan kedudukan Wali Mujbir di Mekkah lebih terdahulu waktunya daripada
pernikahan Syarifah dengan Usman melalui Wali Hakim di Martapura. Karena
itulah akhirnya pernikahan Usman dan Syarifah difasakh atau dibatalkan,
dan ditetapkan bahwa Abdul Wahab-lah yang menjadi suami Syarifah.
Keputusan ini
kemudian ditaati oleh keduabelah pihak, dan menurut cerita Usman akhirnya
merantau ke daerah Palembang Sumatera Selatan, serta merintis terbentuknya
sebuah desa di sana yang diberi nama Martapura. Karena itu boleh jadi di
Indonesia, daerah yang bernama Martapura hanya ada dua, yakni Martapura di
Kalimantan Selatan atau Martapura di Palembang (Sumatera Selatan).
Hasil perkawinannya
dengan Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad ini melahirkan dua orang anak,
masing-masing bernama Fatimah dan Muhammad Yasin. Fatimah binti Syekh Abdul
Wahab Bugis kemudian dikawinkan dengan H.M. Said Bugis dan melahirkan dua orang
anak, yakni Abdul Gani dan Halimah, sedangkan Muhammad Yasin tidak memiliki
keturunan. Abdul Gani anak Fatimah kemudian kawin dengan Saudah binti H.
Muhammad As’ad dan juga melahirkan dua orang anak, namun keduanya meninggal
dunia. Sementara, Halimahpun juga tidak memiliki keturunan. Abdul Ghani
kemudian kawin lagi dengan seorang wanita dari Mukah Sarawak dan mendapatkan
lagi dua orang anak, yakni Muhammad Sa’id dan Sa’diyah. Muhammad Said kemudian
kawin dan mendapatkan dua orang anak, bernama Adnan dan Jannah. Sedangkan
Sa’diyah memiliki anak bernama Sailis, yang menurut cerita kemudian tinggal di
Sekadu, Pontianak.
Tekad Abdul Wahab
yang bulat untuk memperjuangkan dakwah Islam dan mengamalkan ilmu yang telah
didapat ketika belajar di Mesir dan di Madinah, serta ikrar yang ia ucapkan
bersama teman-temannya tatkala ingin kembali ke tanah air, semakin menguatkan
keinginannya untuk mengabdikan ilmu dan baktinya di Tanah Banjar.
Pendidikan dan
Ketokohan
Abdul Wahab dikenal sebagai salah seorang tokoh “empat serangkai”, yakni Syekh Abdurrahman al-Misri, Syekh Abdus Samad al-Palimbani, dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yang memiliki akhlak dan kepribadian sebagaimana akhlak dan kepribadian yang dimiliki oleh tokoh empat serangkai lainnya, sebagaimana digambarkan oleh Abu Daudi mereka adalah empat serangkai yang seiring sejalan, yang mendapat pendidikan dari guru yang sama, yang sama-sama mengutamakan ilmu dan amal, dan empat serangkai yang sama-sama pulang bersama serta mengemban tugas yang serupa. Ia adalah sahabat sekaligus menantu dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Jika Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di kota Mekkah, maka Abdul Wahab bersama dengan sahabatnya Syekh Abdurrahman Misri lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di kota Mesir. Sehingga dalam tulisan Abu Daudi, Abdul Wahab tercatat sebagai salah seorang murid dari Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi (Abu Daudi, 1996: 28, 31).
Syekh Sulaiman
al-Kurdi ini kemudian juga menjadi guru dari Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh
Abdusshamad al-Palimbani. Itulah sebabnya ia mengiringi gurunya itu ke kota
Madinah ketika gurunya itu hendak mengajar, mengembangkan pengetahuan agama dan
Ilmu Adab serta mengadakan pengajian umum.
Di kota Madinah
inilah kemudian empat serangkai bertemu dan selanjutnya Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari dan Abdus Samad al-Palimbani pun mengikuti majelis pengajian Syekh
Muhammad Sulaiman al-Kurdi, yang kemudian memicu lahirnya tulisan Syekh
Muhammad Arsyad yang berjudul “Risalah Fatawa Sulaiman Kurdi”. Risalah ini
berupa naskah yang isinya menerangkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kepada Syekh Muhammad Sulaiman
al-Kurdi tentang keadaan atau tindakan Sultan Banjar yang memungut pajak dan
mengenakan hukuman denda bagi mereka yang meninggalkan shalat Jum’at dengan
sengaja, serta berbagai masalah lainnya. Risalah ini ditulis dalam bahasa Arab,
dan belum pernah diterbitkan, namun naskah asli tulisan beliau sampai sekarang
masih ada dan tetap tersimpan dengan baik pada salah seorang zuriat beliau di
desa Dalam Pagar Martapura.
Kemudian atas anjuran
dari Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi pula, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani yang haus ilmu pengetahuan yang semula
berniat dan berencana untuk menambah ilmu ke Mesir tidak jadi berangkat ke
sana, sebab ilmu pengetahuan yang mereka miliki telah dianggap cukup, untuk
selanjutnya mereka disarankan segera pulang ke tanah air guna mengamalkan dan
mengembangkan ilmu yang telah didapat (Abu Daudi, 1996: 29).
Bandingkan dengan
pendapat Azyumardi Azra (1994: 253), yang menyatakan bahwa Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani meminta izin dan restu
kepada guru mereka Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri untuk menuntut ilmu ke
Mesir, namun oleh Syekh Athaillah mereka disarankan untuk pulang ke tanah air mengamalkan
ilmu yang telah didapat, sebab Syekh Athaillah percaya mereka (empat serangkai)
telah memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup, sehingga akhirnya mereka
tidak jadi menuntut ilmu ke Mesir, tetapi tetap ke sana untuk berkunjung.
Sebagai tanda kunjungan akhirnya nama Syekh Abdurrahman al-Batawi ditambah
dengan al-Misri.
Menurut riwayat,
selama di kota Madinah, “empat serangkai” juga belajar ilmu tasawuf kepada
Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani, seorang ulama besar dan Wali Quthub di Madinah, sehingga
akhirnya mereka berempat mendapat gelar dan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah Khalwatiyah.
Di samping tercatat
sebagai murid dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani (seorang
ulama besar dan Wali Quthub di
Madinah) dan Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Abdul Wahab juga berguru
kepada:
- Abdul al-Mun’im al-Damanhuri, Ibrahim bin Muhammad al-Ra’is al-Zamzami al-Makki (1698-1780 M) yang terkenal sebagai ahli Ilmu Falak (Astronomi)
- Muhammad Khalil bin Ali bin Muhammad bin Murad al-Husaini (1759-1791 M) yang terkenal sebagai ahli sejarah dan penulis kamus biografi Silk al-Durar
- Muhammad bin Ahmad al-Jauhari al-Mishri (1720-1772 M) yang terkenal sebagai seorang ahli hadits
- Athaillah bin Ahmad al-Azhari, al-Mashri al-Makki, yang juga terkenal sebagai seorang ahli hadits ternama serta dianggap sebagai isnad unggul dalam telaah hadits.
Perjuangan Dakwah
Di samping Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai motor penggerak utama kegiatan dakwah Islam di Tanah Banjar, Abdul Wahab juga memiliki peranan yang penting dalam mengembangkan Islam di Tanah Banjar, mengingat kedudukan dan figur Abdul Wahab sebagai seorang ulama yang dikenal alim dan sekian lama menuntut ilmu di Mesir dan daerah Timur Tengah.
Perjuangan utama
Abdul Wahab Di Tanah Banjar sendiri adalah membantu Syekh Muhammad Arsyad
mendakwahkan Islam di wilayah kerajaan Banjar yang waktu itu belum begitu
berkembang. Mulai dari mengajarkan Islam kepada keluarga kerajaan, mendidik
kader-kader dakwah, sampai dengan membangun desa Dalam Pagar, yang kemudian
berkembang menjadi pusat penyebaran dan pengajaran Islam di Kalimantan.
Pertama
mengajarkan agama
Islam kepada kaum bangsawan dan keluarga kerajaan Banjar. Hal ini terlihat dari
awal kedatangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Abdul Wahab Bugis di tanah
Banjar (Martapura) pada bulan Ramadhan tahun 1208 H/1772 M yang disambut meriah
oleh seluruh komponen masyarakat Banjar, tidak hanya masyarakat biasa akan
tetapi juga kaum bangsawan dari kerajaan Banjar. Mengingat Syekh Muhammad
Arsyad sendiri sudah dianggap dan diakui sebagai bubuhan kerajaan, terlebih-lebih lagi manakala mengetahui status
Abdul Wahab yang juga seorang bangsawan, sehingga oleh pihak kerajaan ia
diberikan tempat untuk tinggal dalam istana. Menjadi guru agama di Istana dan
mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada bubuhan
kerajaan.
Kedua
Membantu Syekh
Muhammad Arsyad membuka perkampungan Dalam Pagar yang telah dihadiahkan oleh
kerajaan Banjar kepada beliau sebagai tanah lungguh. Mengingat tekad kuat dan ikrar setia yang disampaikan
oleh Abdul Wahab untuk mensyiarkan agama Islam di tanah air, sesuai dengan
pesan guru mereka ketika masih di kota Madinah, ia juga aktif mengajarkan
ilmu-ilmu agama kepada masyarakat luas yang datang berbondong-bondong ke Dalam
Pagar yang sudah dikenal dan menjadi pusat pendidikan serta penyiaran agama
Islam pada masa itu.
Ketiga
Di samping itu Abdul
Wahab sebagai menantu dan sekaligus sahabat Syekh Muhammad Arsyad yang juga
memiliki pengetahuan agama yang luas dan alim, diduga sedikit banyak beliau
ikut menyumbangkan ilmu, pendapat, dan pandangannya –sumbang saran– terhadap
berbagai masalah-masalah keagamaan yang terjadi di Tanah Banjar. Dengan kata
lain Abdul Wahab merupakan teman diskusi atau mudzakarah agama Syekh Muhammad Arsyad. Hal ini terlihat dari
adanya istilah-istilah tertentu dalam Bahasa Bugis –walaupun dalam jumlah yang
sangat kecil, dan untuk hal ini lebih jauh perlu dilakukan penelitian dan
pengkajian kembali melalui pendekatan Linguistik– pada penulisan dan penyusunan
risalah atau kitab-kitab yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari,
terutama Kitab Sabilal Muhtadin.
Mengingat kedudukan
dan kedekatannya, sumbangan pemikiran Abdul Wahab terhadap sejumlah karya tulis
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dapat saja terjadi, mengingat bahwa:
- Abdul Wahab adalah salah seorang ahli Fiqih dan murid dari Imam Haramain, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri, yang lama menuntut ilmu di Mesir dan Haramain, beliau adalah seorang yang alim, sahabat sekaligus menantu yang berjuang berdampingan bersama Syekh Muhammad Arsyad, mewujudkan ikrar yang telah ditetapkan ketika berkumpul bersama-sama (dengan tokoh empat serangkai lainnya) sesudah menuntut ilmu di Madinah, dan akan pulang ke tanah air.
- Abdul Wahab adalah salah seorang tokoh dari “empat serangkai” yang mendapatkan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah ketika keempatnya belajar dan mengkaji ilmu tasawuf atau tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani.
- Abdul Wahab dianggap sebagai tokoh penting dalam jaringan ulama Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19 karena keterlibatannya secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama tersebut. Ketokohannya diakui dan dapat dilihat dari gelar syekh yang beliau sandang. Sebab gelar syekh dalam khazanah masyarakat Banjar mengisyaratkan kealiman penyandangnya, sekaligus pula menjadi penanda bahwa yang bersangkutan pernah atau lama mengkaji ilmu di Tanah Haramain (Mekkah atau Madinah). Karena itulah di samping diangkat menjadi guru di istana kerajaan Banjar oleh sultan, dalam kehidupan masyarakat luas pun ia dihormati dan dijadikan sebagai guru rohani mereka.
Keempat
untuk mendidik dan
membina kader-kader penerus dakwah Islam, Syekh Muhammad Arsyad telah membuka
daerah Dalam Pagar, mendirikan surau, rumah tempat tinggal sekaligus mandarasah yang menjadi tempat untuk
belajar masyarakat, mengkaji dan menimba ilmu, sekaligus tempat untuk mendidik
kader-kader dakwah. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari bersama Abdul Wahab telah
membangun sebuah pusat pendidikan Islam yang serupa ciri-cirinya dengan surau di Padang Sumatera Barat, rangkang, meunasah dan dayah
di Aceh, atau pesantren di
Jawa.
Bangunan tersebut
terdiri dari ruangan-ruangan untuk belajar, pondokan tempat tinggal para
santri, rumah tempat tinggal Tuan Guru atau kyai, dan perpustakaan. Oleh
Humaidy lembaga pendidikan Islam ini, sebagaimana istilah yang biasa dipakai di
kawasan dunia Melayu, seperti Riau, Palembang, Malaysia, Brunei Darussalam, dan
Fattani (Thailand) disebut punduk.
Sehingga Dalam Pagar akhirnya berhasil menjadi locus dan kawah candradimuka paling penting untuk
mendidik serta mengkader para murid yang kemudian hari menjadi ulama terkemuka
di kalangan masyarakat Kalimantan.
Tentu di masa-masa
sulit seperti ini beliau berdua dengan anak menantu dan sekaligus sahabatnya,
Abdul Wahab Bugis saling membantu, mengisi, dan membina kader-kader dakwah yang
banyak jumlahnya tersebut. Hasilnya, di samping berhasil menjadikan anak cucu
mereka –Fatimah dan Muhammad Yasin bin Syekh Abdul Wahab Bugis serta Muhammad
As’ad bin Usman (mufti pertama di kerajaan Banjar)– sebagai ulama, membentuk
kader-kader masyarakat yang kelak menjadi ulama terkemuka, mereka berdua juga
berhasil membentuk masyarakat Islam Banjar yang memiliki kesadaran untuk
berpegang pada ajaran agama Islam melalu dakwah bil-lisan, bil-kitabah, dan bil-hal, serta diteruskan kemudian oleh generasi-generasi dan
kader-kader yang telah dibina melalui upaya pengiriman juru dakwah ke berbagai
daerah yang masyarakatnya sangat memerlukan pembinaan agama, dari sini akhirnya
dakwah terus berkembang dan ajaran Islam semakin tersebar luas ke tengah-tengah
masyarakat Banjar.
Perkembangan dakwah
Islam yang begitu menggembirakan, pada akhirnya memicu simpatik Sultan
Tahmidullah II bin Sultan Tamjidillah untuk memberikan keleluasaan kepada Syekh
Muhammad Arsyad untuk lebih memantapkan dan mengembangkan Islam di Tanah Banjar
secara melembaga, agar agama Islam benar-benar menjadi way of life, keyakinan dan pegangan masyarakat Banjar khususnya,
dan Kalimantan umumnya.
Sultan Banjar
berkeinginan pula untuk menertibkan dan menyempurnakan peraturan yang telah
dibuat berdasarkan hukum Islam, wadah atau badan yang menjaga agar kemurnian
hukum dapat diterapkan, dan yang lebih penting lagi adalah agar roda
pemerintahan di kerajaan benar-benar dapat dilaksanakan dengan baik sesuai
dengan tuntunan agama. Sehingga bermula dari sinilah kemudian timbul
lembaga-lembaga dan jabatan-jabatan keislaman dalam pemerintahan, semacam Mahkamah Syar’iyah, yakni Mufti
dan Qadli.
Mufti
adalah suatu lembaga yang bertugas memberikan nasihat atau fatwa kepada sultan
masalah-masalah keagamaan, jabatan mufti kerjaan Banjar yang pertama dipegang
oleh H. Muhammad As’ad bin Usman (cucu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari).
Sedangkan qadli adalah mereka
yang mengurusi dan menyelesaikan segala urusan hukum Islam, terhadap masalah
perdata, pernikahan, dan waris, jabatan qadli
yang pertama dipegang oleh H. Abu Su’ud bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Sampai akhirnya Syariat Islam diterapkan sebagai hukum resmi yang mengatur
kehidupan masyarakat Islam di tanah Banjar pada masa pemerintahan Sultan Adam
al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah (1825-1857 M), yang
dikenal dengan nama Undang-Undang Sultan Adam (UUSA). Dibentuk dan
diberlakukannya UUSA ini bertujuan untuk mengatur agar kehidupan beragama
masyarakat menjadi lebih baik, mengatur agar akidah masyarakat lebih sempurna,
mencegah terjadinya persengketaan, dan untuk memudahkan para hakim dalam
menetapkan status hukum suatu perkara.
UUSA ini antara lain
berisikan, Pasal 1 sampai dengan pasal 2 berbicara tentang dasar negara yakni
Islam yang Ahlu Sunnah wal
Jamaah, pasal 4 sampai dengan pasal 22 menerangkan peraturan dalam
peradilan berdasarkan mazhab Syafi’i, pasal 23 sampai pasal 27 berbicara tentang
hukum tanah garapan, penjualan tanah, penggadaian, peminjaman dan penyewaan
tanah yang harus dilakukan secara tertulis, serangkap di tangan hakim dan
serangkap lagi di tangan yang berkepentingan. Gugatan terhadap tanah yang
terjadi sebelum diberlakukan undang-undang dapat diajukan sebelum duapuluh
tahun semenjak undang-undang ditetapkan, sedang tanah atau kebun yang terjual
atau telah dibagi kepada ahli waris, dapat digugat selama sepuluh tahun dari
tahun penjualan atau pembagian sampai undang-undang diberlakukan. Orang yang
menang dalam perkara tidak boleh mengambil sewa selama berada di tangan
tergugat.
Di samping
alasan-alasan di atas yang mendasari aktivitas dan perjuangan dakwah Abdul
Wahab di Tanah Banjar, sebagai seorang ulama yang alim, ahli Ilmu Fikih dan
menguasai Ilmu Tasawuf, menurut asumsi penulis Abdul Wahab juga salah seorang
ulama penyebar tarekat Sammaniyah (Pembahasan tentang peranan Syekh Abdul Wahab
Bugis sebagai salah seorang pembawa dan penyebar tarekat Sammaniyah yang
bercorak Khalwatiyah, di samping Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh
Muhammad Nafis al-Banjari lebih jauh dapat dilihat dalam tulisan saya yang
berjudul: “Melacak Jejak Pembawa Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar”, Jurnal Khazanah, Volume II Nomor 05,
September-Oktober 2003). Sehingga dalam konteks ini memungkinkan sekali jika ia
menggunakan pendekatan dakwah sufistik
dalam aktivitas dakwahnya, di samping pendekatan dakwah syariah.
Dimaksud dengan
dakwah sufistik adalah usaha dakwah yang dilakukan oleh seorang muslim untuk
mempengaruhi orang lain, baik secara individu maupun kolektif (jamaah) agar mereka mau mengikuti dan
menjalankan ajaran Islam secara sadar, usaha ini dilakukan dengan pendekatan
tasawuf, yakni pendekatan dakwah yang lebih menekankan pada aspek batin
penerima atau objek dakwah (mad’u)
daripada aspek lahiriyahnya.
Dengan kata lain
pendekatan dakwah sufistik adalah dakwah dengan menggunakan materi-materi
sufisme, yang di dalamnya terdapat aspek-aspek yang berhubungan dengan akhlak,
baik akhlak kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada sesama manusia, bahkan
akhlak terhadap semua makhluk ciptaan Allah seperti tawadlu’, ikhlas,
tasamuh, kasih sayang terhadap
sesama, dan lain-lain, sehingga pada akhirnya dalam diri mad’u timbul kesadaran untuk
mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub
ilallah) sedekat-dekatnya agar memperoleh rahmat serta kasih sayang-Nya
(Rosyidi, 2004: 46).
Apatah lagi, pada
masa itu tasawuf dan berbagai tarekat yang ada telah memainkan peranan penting
dalam perkembangan dan Islamisasi di Indonesia sejak abad XI Masehi. Di mana
berlangsungnya Islamisasi di Asia Tenggara (termasuk di Indonesia), berbarengan
dengan masa-masa merebaknya tasawuf abad pertengahan, dan pertumbuhan
tarekat-tarekat, antara lain ajaran Ibn al-‘Arabi (w. 1240 M), ‘Abd al-Qadir
al-Jailani (w. 1166 M) yang ajarannya menjadi dasar Tarekat Qadiriyah, ‘Abd
al-Qahir al-Suhrawardi (w. 1167 M), Najm al-Din al-Kubra (w. 1221 M) dengan
tarekatnya Kubrawiyah, Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 1258 M) dengan tarekatnya
Syadziliyah, Baha’u al-Din al-Naqsyabandi (w. 1389 M) dengan tarekatnya
Naqsabandiyah, ‘Abd Allah al-Syattar (w. 1428 M) dengan tarekatnya Syattariyah,
dan sebagainya (Martin, 1985: 188). Sehingga tasawuf merupakan sesuatu yang
sangat diminati, tak terkecuali pula halnya dengan masyarakat Banjar yang telah
memiliki bibit-bibit ketasawufan tersebut. Lebih dari itu, Islam yang masuk
yang berkembang di Indonesia sendiri menurut para ahli adalah Islam yang
bercorak tasawuf (Yunasir, 1987: 94).
Sayangnya, perjuangan
dakwah Abdul Wahab tidak begitu panjang, ia meninggal terlebih dahulu dan lebih
muda setelah sekian lama berjuang bahu-membahu mendakwahkan Islam bersama
dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yakni lebih kurang 10-15 tahunan.
Tidak diketahui
secara pasti memang kapan tahun meninggalnya, namun diperkirakan antara tahun
1782-1790 M, dalam usian enampuluh tahunan. Tahun ini penulis dasarkan pada
catatan tahun pertama kali kedatangannya (1772 M) dan tahun pemindahan
makamnya. Di mana semula ia dikuburkan di pemakaman Bumi Kencana Martapura,
namun oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian, bersamaan dengan
pemindahan makam Tuan Bidur, Tuan Bajut (isteri dari Syekh Muhammad Arsyad),
dan Aisyah (anaknya Tuan Bajut), makamnya kemudian dipindahkan ke desa
Karangtangah (sekarang masuk wilayah desa Tungkaran Kecamatan Martapura) pada
pada hari Selasa, 2 Rabiul Awal 1208 H (1793 M). Karena itu bisa diperkirakan
bahwa, dihitung dari tahun pertama kedatangan hingga wafatnya, Abdul Wahab telah
bahu-membahu dan memperjuangkan dakwah Islam mendampingi Syekh Muhammad Arsyad
di tanah Banjar sekitar 10-15 tahun.
Ada pula yang
menyatakan bahwa, Abdul Wahab setelah lama berkiprah di Tanah dan kerajaan
Banjar serta sesudah kedua anaknya yakni Fatimah dan Muhammad Yasin dewasa, ia
kemudian pulang dan meninggal di kampung halamannya Pangkajene, Sulawesi
Selatan (Zamam, 1978: 13).
Namun, Berdasarkan
catatan pemindahan makamnya yang sampai sekarang masih disimpan oleh Abu Daudi,
dapat disimpulkan bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis sebenarnya tidak pulang ke
daerah asalnya tetapi meninggal lebih muda dari Syekh Muhammad Arsyad. Karena
itu data ini lebih kuat dari yang dikatakan oleh Zafri Zamzam bahwa Syekh Abdul
Wahab Bugis pulang ke daerah asal beliau (Pangkajene) dan meninggal di sana.
Demikianlah, Syekh
Abdul Wahab Bugis telah membaktikan ilmu, waktu, dan hidupnya untuk
memperjuangan dakwah Islam di Tanah Banjar. Seyogianya peranan, jasa dan
perjuangannya itu menjadi cermin bagi generasi sekarang untuk meninggalkan amal
shalih yang sama, sehingga berguna bagi generasi selanjutnya untuk membangun
dan mengembangkan masyarakatnya.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa Abdul Wahab Bugis, kawan seperguruan, sahabat, dan sekaligus menantu dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari juga memiliki peran dan jasa yang besar dalam mendakwahkan Islam di Bumi Kalimantan. Mulai dari mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan pada keluarga atau bubuhan bangsawan di kerajaan Banjar sampai membangun tanah lungguh desa Dalam Pagar menjadi locus utama dakwah Islam, pendidikan, dan pengkaderan kader-kader yang kelak menjadi pejuang dakwah diberbagai daerah yang menjadi sebarannya di Kalimantan.
Mengingat ketokohan,
akhlak, dan keilmuan yang dimilikinya yang memang diakui, serta melalui
kebersamaan sebagaimana yang telah diikrarkan, bahu-membahu, dan ikhlas
berjuang bersama Syekh Muhammad Arsyad, Abdul Wahab berhasil menempatkan posisi
dirinya sebagai ulama pejuang dalam rangka menjadikan Islam sebagai pola
kehidupan masyarakat Banjar, baik bidang kenegaraan maupun bidang sosial
kemasyarakatan.
DAFTAR PUSTAKA
- . Ali, Yunasir, Pengantar Ilmu Tasawuf, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1987.
- Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Mizan, Bandung, 1994.
- Basuni, Ahmad, Nur Islam di Kalimantan Selatan, Bina Ilmu, Surabaya, 1996.
- Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat : Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1999.
- Daudi, Abu, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Tuan Haji Besar. Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum Dalam Pagar Martapura, 1996.
- Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999.
- Halidi, Yusuf, Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Bina Ilmu, Surabaya, 1984.
- Humaidy, “Tragedi Datu Abulung : Manipulasi Kuasa Atas Agama”, Kandil, edisi 2 Tahun I, September 2003.
- Jamalie, Zulfa, “Melacak Jejak Pembawa Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar”, Jurnal Khazanah, Volume II Nomor 05, September-Oktober 2003.
- Marwan, Muhammad, Manakib Datu Suban dan Para Datu, Toko Buku Sahabat, Kandangan, 2001.
- Masdari dan Zulfa Jamalie (ed.), Khazanah Intelektual Islam Ulama Banjar, Pusat Pengakjian Islam Kalimantan (PPIK) IAIN Antasari, Banjarmasin, 2003.
- Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, Jakarta, 1994.
- Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal : Menentramkan Jiwa Mencerahkan Pikiran, Khazanah Populer Paramadina, Jakarta, 2004.
- Sasono, Adi dkk, Solusi Islam Atas Problematika Umat, Gema Insani Press, Jakarta, 1998.
- Steenbrink, Karel S. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1985.
- Zamzam, Zafry, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai Ulama Juru Dakwah dalam Sejarah Penyiaran Islam di Kalimantan Abad ke-13H/18 M dan Pengaruhnya di Asia Tenggara, Percetakan Karya, Banjarmasin, 1974.